Tibet terletak di dataran tinggi Himalaya di Asia Tengah, Dimana Tibet
Utara berada di bawah pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok sejak tahun 1951.
Wilayah ini memiliki lanskap yang spektakuler, dengan memiliki puncak-puncak
gunung tertinggi di dunia seperti Gunung Everest. Tibet merupakan pusat agama
Buddha Tibetan, yang memiliki tradisi spiritual yang khas. Ajaran Buddhisme
Tibet dikenal dengan praktik meditasi yang mendalam, ritual, dan penghormatan
terhadap Dalai Lama sebagai pemimpin spiritual tertinggi.
Biksu adalah sebutan
dalam agama Buddha untuk para pria yang telah mengambil sumpah sebagai penganut
Buddha dan mengabdikan hidup mereka untuk praktik spiritual dan pemahaman
mendalam terhadap ajaran Buddha. Istilah ini sering diterjemahkan sebagai
"biarawan" atau "rahis" dalam bahasa Indonesia. Secara
tradisional, seorang biksu menjalani kehidupan berdasarkan aturan Vinaya, yaitu
serangkaian peraturan dan disiplin yang mengatur berbagai aspek kehidupan mereka,
termasuk tata cara makan, pakaian, tempat tinggal, dan interaksi dengan
masyarakat. Mereka menghabiskan waktu untuk meditasi, studi ajaran Buddha,
serta memberikan pengajaran dan bimbingan kepada umat. Dalam konteks budaya dan
agama Buddha, status biksu dihormati sebagai contoh ideal dari kesucian dan
dedikasi spiritual.
Kehidupan biksu di
Tibet sangat terkait dengan tradisi agama Buddha Tibetan yang kaya dan
unik. Komunitas biksu di Tibet terdiri dari para biarawan yang tinggal di
biara-biara atau vihara-vihara. Biara-biara ini sering kali menjadi pusat
kegiatan spiritual dan pendidikan bagi biksu-biksu tersebut. Biksu-biksu
di Tibet hidup berdasarkan aturan Vinaya. Mereka mengikuti rutinitas harian
yang terstruktur, termasuk meditasi, belajar ajaran Buddha, dan melakukan
ritual keagamaan. Sebagian besar biksu-biksu Tibet menghabiskan waktu
mereka untuk mempelajari ajaran Buddha dan filosofi agama. Mereka juga sering
berperan sebagai pengajar bagi umat atau murid-murid yang tertarik untuk
belajar lebih dalam tentang agama dan praktik spiritual.
Tradisi agama
Buddha Tibetan mengajarkan pentingnya pemberian (dana) sebagai praktik
spiritual. Sebagai bagian dari kehidupan mereka, biksu-biksu menerima dukungan
dari umat dalam bentuk makanan, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari
lainnya. Biksu-biksu di Tibet sangat dihormati dan dianggap sebagai simbol
kebijaksanaan dan kesucian dalam masyarakat. Mereka berperan penting dalam
menjaga dan meneruskan tradisi dan kebudayaan Tibet, termasuk melalui upacara
keagamaan dan ritual yang diadakan untuk masyarakat.
Alasan utama mengapa
biksu dalam tradisi agama Buddha harus tetap melajang berkaitan erat dengan
prinsip-prinsip spiritual dan disiplin yang dianut dalam agama
tersebut. Sebagai seorang biksu, fokus utamanya adalah mencapai pemahaman
mendalam terhadap ajaran Buddha dan mencapai pencerahan atau kebijaksanaan
spiritual. Menjaga kehidupan yang sederhana dan tidak terikat dalam hubungan
romantis atau perkawinan dianggap sebagai cara untuk membebaskan diri dari
distraksi-distraksi dunia yang dapat menghalangi pencapaian tujuan
spiritual. Dalam ajaran Buddha, kehidupan keluarga dan ikatan-ikatan dunia
dilihat sebagai penghambat menuju pembebasan atau nirwana. Melalui praktik
pemurnian diri ini, seorang biksu berusaha untuk melepaskan diri dari
ikatan-ikatan materi dan emosional yang dapat mempengaruhi kesadaran
spiritualnya. Di dalam Aturan Vinaya, yang merupakan serangkaian peraturan dan
tata tertib yang diikuti oleh biksu, mengatur larangan terhadap perkawinan atau
hubungan romantis. Hal Ini bertujuan untuk menjaga kesucian dan integritas
spiritual dari para biksu serta mencegah potensi konflik atau kecenderungan
materialisme yang dapat muncul dalam hubungan pribadi. Dalam masyarakat
Buddha, biksu-biksu dihormati sebagai contoh ideal dari kesucian dan dedikasi
spiritual. Dengan menunjukkan bahwa kehidupan yang dilatih dan disiplin dapat
membawa kedamaian batin dan pemahaman yang lebih dalam terhadap kebenaran
universal.
Pada intinya dalam
pandangan Buddha, kehidupan berkeluarga atau terikat pada hubungan romantis
membawa risiko akan penderitaan dan kesengsaraan, baik bagi individu maupun
bagi orang-orang terdekatnya. Dengan tetap melajang, seorang biksu diyakini
dapat menghindari penderitaan-penderitaan ini dan fokus sepenuhnya pada
perjalanan spiritualnya. Dengan demikian, keputusan untuk tetap melajang
sebagai seorang biksu tidak hanya didasarkan pada aturan atau tradisi semata,
tetapi juga berasal dari pemahaman mendalam tentang jalur spiritual yang
ditempuh dalam tradisi agama Buddha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar