Friday, May 23, 2025

Di Balik Buku Pelajaran: Bagaimana Kebijakan Kurikulum Membentuk Masa Depan Pelajar Indonesia

 



    Setiap kita yang pernah duduk di bangku sekolah pasti akrab dengan kata "kurikulum". Namun, tak semua dari kita benar-benar memahami bagaimana sebuah kebijakan kurikulum bisa memengaruhi cara kita belajar, berpikir, hingga menentukan arah hidup di masa depan. Dalam dunia pendidikan, kurikulum bukan hanya soal buku dan ujian, tapi juga tentang masa depan generasi.


    Kurikulum adalah jantung pendidikan. Ia merangkum semua hal yang harus dipelajari siswa, bagaimana cara mengajarkannya, dan nilai-nilai apa yang ingin ditanamkan. Maka tak heran jika kebijakan kurikulum menjadi salah satu aspek paling krusial dalam menentukan kualitas pendidikan di sebuah negara.


    Kebijakan kurikulum adalah keputusan strategis pemerintah yang mengatur materi pelajaran, metode pembelajaran, hingga penilaian yang harus diikuti oleh institusi pendidikan. Di Indonesia, kebijakan ini ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan sering kali mengalami perubahan sesuai dengan arah politik, sosial, dan ekonomi bangsa. Beberapa kebijakan kurikulum yang pernah diberlakukan di Indonesia antara lain:

  • Kurikulum 1975
  • Kurikulum 2006 (KTSP)
  • Kurikulum 2013
  • Kurikulum Merdeka (implementasi mulai 2022)
  • Setiap kurikulum membawa tujuan dan semangat baru, seperti menyesuaikan dengan kebutuhan abad 21, mengurangi beban siswa, hingga memberi ruang kreativitas bagi guru


    Setiap kali kurikulum berubah, cara belajar siswa juga berubah. Dari yang sebelumnya berfokus pada hafalan, kini lebih ke pengembangan nalar dan pemahaman konsep. Kurikulum Merdeka misalnya, mendorong siswa untuk lebih aktif, kreatif, dan berani berpikir kritis. Materi yang dipelajari siswa akan disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku. Hal ini memengaruhi tingkat kesulitan, kedalaman bahasan, dan relevansi dengan kehidupan nyata.


    Perubahan kurikulum yang mendadak atau tidak diiringi persiapan cukup bisa menyebabkan kebingungan dan tekanan mental pada siswa, apalagi jika ujian nasional masih menjadi penentu kelulusan. Di daerah terpencil, tidak semua sekolah bisa langsung mengimplementasikan kurikulum baru karena keterbatasan fasilitas, tenaga pengajar, atau teknologi.


    Guru adalah ujung tombak pelaksanaan kebijakan kurikulum. Sebagus apa pun kurikulumnya, jika guru tidak memahami dan mampu mengimplementasikannya dengan baik, maka tujuannya tidak akan tercapai. Namun, banyak guru merasa terbebani dengan perubahan kurikulum yang terlalu cepat, apalagi jika pelatihan atau sosialisasinya tidak optimal. Hal ini bisa berdampak langsung pada cara guru mengajar, dan secara tidak langsung memengaruhi semangat belajar siswa.


    Pada kurikulum terbaru seperti Merdeka Belajar, banyak materi dan evaluasi berbasis digital. Sayangnya, tidak semua siswa memiliki akses internet atau perangkat yang memadai. Tidak semua guru mendapatkan pelatihan yang cukup untuk memahami kurikulum baru, terutama di daerah pelosok. Meskipun niatnya menyederhanakan, kurikulum baru kadang justru menambah beban tugas siswa jika tidak dijalankan dengan tepat. Tidak adanya sistem evaluasi nasional yang transparan dan menyeluruh membuat sulit untuk menilai efektivitas kurikulum di berbagai wilayah.


Suara dari Lapangan: Perspektif Siswa dan Orang Tua

Dalam sebuah wawancara sederhana dengan beberapa siswa SMA, muncul berbagai pendapat : 
Amira, kelas 11: “Sekarang lebih banyak diskusi kelompok. Menyenangkan sih, tapi kadang bingung karena gurunya juga baru nyoba metode baru.”
Bayu, kelas 12: “Dulu harus hafal banyak, sekarang harus paham konsep. Aku suka, tapi temenku yang biasa hafalan jadi susah ikuti.”
Ibu Rina, orang tua murid: “Saya bingung bantu anak belajar karena pelajarannya beda sekali dari zaman saya. Tapi saya dukung kalau itu buat kebaikan anak-anak.”
Pendapat-pendapat ini menunjukkan bahwa pengaruh kebijakan kurikulum sangat nyata dirasakan oleh semua pihak, bukan hanya siswa dan guru, tapi juga orang tua.


    Kurikulum yang baik adalah yang adaptif, kontekstual, dan berpusat pada siswa. Dimana kurikulumnya bisa :

  • Menyesuaikan dengan kebutuhan lokal dan global, Mengembangkan karakter dan keterampilan hidup, bukan hanya nilai akademik
  • Memberi ruang kebebasan dan kreativitas pada siswa dan guru
  • Mendorong pemanfaatan teknologi tanpa meninggalkan yang tertinggal
  • Dirancang berdasarkan data dan pengalaman lapangan, bukan hanya teori

    Penting juga adanya keterlibatan siswa, guru, dan orang tua dalam menyusun dan mengevaluasi kebijakan kurikulum. Pendidikan bukan hanya urusan pemerintah, tapi juga urusan kita semua sebagai masyarakat. Sebagai seseorang yang pernah melewati masa sekolah dengan berbagai kurikulum yang silih berganti, saya bisa merasakan bagaimana sistem bisa membentuk cara berpikir dan memandang dunia.

    Saya pernah merasa tertekan karena nilai, takut salah menjawab soal, atau bingung karena guru juga belum paham sistem baru. Tapi saya juga pernah merasa bangga saat diberi ruang untuk berekspresi, berdiskusi, dan menyampaikan pendapat di kelas. Kini, ketika melihat adik saya yang masih duduk di bangku sekolah dasar mengikuti Kurikulum Merdeka, saya bertanya-tanya: Apakah kurikulum hari ini akan benar-benar memberinya bekal untuk masa depan, atau justru menambah beban baru?

    Saya percaya, pendidikan yang baik adalah yang membebaskan bukan menekan, yang membangun bukan menghukum. Dan harapan saya, siapapun yang menyusun kebijakan di pusat sana, tidak pernah lupa bahwa di balik angka, grafik, dan laporan kurikulum, ada manusia-manusia kecil yang sedang tumbuh dan mencari jati diri.

No comments:

Post a Comment