Suku Tengger adalah salah satu kelompok etnis yang mendiami kawasan pegunungan Bromo, Jawa Timur. Mereka bukan sekadar masyarakat adat biasa, tetapi penjaga budaya yang diwariskan langsung dari zaman Majapahit. Suku ini menarik perhatian banyak kalangan karena keunikan ritual, bahasa, hingga kepercayaan yang masih lestari hingga kini. Namun, di balik eksotisme tersebut, beredar pula berbagai mitos, fakta mengejutkan, bahkan kasus yang sempat menghebohkan publik. Dalam artikel ini, kita akan membedah asal usul suku Tengger, menjelajahi mitos dan realita yang menyelimuti mereka, serta mengupas beberapa kasus yang sempat muncul di permukaan. Artikel ini menggunakan kata kunci SEO seperti "suku Tengger", "Bromo", "adat istiadat Tengger", dan "ritual Yadnya Kasada".
Asal usul Suku Tengger konon berakar dari zaman keemasan Kerajaan Majapahit. Menurut legenda lokal, suku ini merupakan keturunan dari Roro Anteng dan Joko Seger pasangan bangsawan yang lari dari kehancuran Majapahit untuk mencari tempat tinggal baru di kawasan Bromo. Mereka mendirikan pemukiman dan memiliki 25 anak. Namun, kisah ini tak hanya berhenti sebagai legenda. Dalam masyarakat Tengger, nama "Tengger" dipercaya berasal dari gabungan dua nama Anteng dan Seger. Hingga saat ini, masyarakat Tengger masih mengakui hubungan spiritual mereka dengan leluhur Majapahit, dan sebagian adatnya pun mencerminkan budaya Hindu Jawa Kuno.
Yang menarik, bahasa yang digunakan oleh Suku Tengger adalah dialek Jawa Kuno yang berbeda dari masyarakat sekitar. Hal ini memperkuat dugaan bahwa mereka merupakan bagian dari peradaban Majapahit yang “membeku” di ketinggian Bromo. Salah satu keunikan utama Suku Tengger terletak pada sistem kepercayaan mereka. Sebagian besar masih memeluk agama Hindu, tepatnya Hindu Dharma, meskipun tidak sama persis seperti di Bali. Agama ini dipadukan dengan animisme, dinamisme, dan kepercayaan lokal.
1. Ritual Yadnya Kasada
Setiap tahun, masyarakat Tengger mengadakan upacara Kasada di kawah Gunung Bromo. Ritual ini adalah bentuk persembahan kepada Sang Hyang Widhi dan leluhur mereka, khususnya Roro Anteng dan Joko Seger. Masyarakat membawa hasil bumi seperti sayuran, ayam, bahkan sesekali kambing atau uang, lalu melemparkannya ke dalam kawah Bromo.
2. Larangan Perkawinan Campuran
Untuk menjaga kemurnian adat, masyarakat Tengger menerapkan larangan tak tertulis soal perkawinan antar suku. Menikah dengan orang luar bisa berarti pengasingan atau kehilangan hak-hak adat.
3. Peran Dukun dan Pemangku
Dukun atau pemangku memiliki posisi penting dalam struktur sosial Suku Tengger. Mereka bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga penjaga nilai-nilai budaya dan mediator antara manusia dan roh leluhur.
Beberapa Mitos yang Berkembang di Kalangan Suku Tengger antara lain :
1. Larangan Melanggar Kawasan Sakral
Gunung Bromo dipercaya sebagai tempat tinggal para dewa. Oleh karena itu, ada kawasan tertentu yang dianggap sakral dan tidak boleh dimasuki sembarangan. Konon, mereka yang melanggar akan mendapatkan "kutukan" berupa kesialan atau kematian mendadak.
2. Anak Ke-26 sebagai Korban
Dalam legenda Roro Anteng dan Joko Seger, anak ke-26 harus dikorbankan ke kawah Bromo sebagai bentuk perjanjian dengan para dewa. Meski kini ritual itu sudah digantikan oleh simbolisasi dengan sesajen, mitos ini masih dipercaya oleh sebagian warga.
3. Asap Bromo Sebagai Tanda Amarah Dewa
Jika asap Gunung Bromo terlihat pekat dan berbau tajam, masyarakat percaya bahwa ada pelanggaran besar terhadap adat atau perintah para leluhur.
Meski hidup dalam adat, masyarakat Tengger tidak anti terhadap pendidikan. Banyak generasi muda Tengger yang kini menempuh pendidikan tinggi, bahkan bekerja di luar daerah. Namun, mereka tetap menjaga adat saat kembali ke kampung halaman. Suku Tengger hidup dari hasil pertanian sayur mayur. Menariknya, sebagian besar hasil tani mereka organik dan bebas pestisida kimia, menjadikan kawasan ini sebagai penyedia sayur sehat utama di Jawa Timur. Keindahan Gunung Bromo menjadikan kampung-kampung Suku Tengger sebagai destinasi wisata. Banyak warga kini membuka homestay, menjual kerajinan tangan, hingga menjadi pemandu wisata.
Kasus yang Pernah Muncul Ketegangan Adat dan Modernisasi. Dimana Beberapa tahun lalu, sempat terjadi ketegangan antara investor dan masyarakat Tengger terkait pembangunan hotel berbintang di kawasan adat. Warga menolak pembangunan tersebut karena dinilai melanggar zona sakral dan mengancam ekosistem lokal. Kasus lainnya terdapat beberapa kasus anak muda Tengger yang jatuh cinta pada pendatang. Meskipun cinta tidak bisa dibendung, mereka harus memilih keluar dari adat atau melepas cintanya. Kisah ini kerap menjadi konflik batin di generasi muda Tengger. Beberapa pegiat budaya mengecam komersialisasi ritual Yadnya Kasada yang kini banyak dijadikan atraksi wisata. Hal ini dikhawatirkan akan menghilangkan makna spiritual di balik ritual sakral tersebut.
Suku Tengger bukan hanya tinggal di lereng Bromo, mereka adalah warisan sejarah yang hidup. Dari darah Majapahit yang mengalir dalam nadi mereka, hingga ritual-ritual yang tetap dijaga meski zaman terus berubah, Tengger adalah pelajaran hidup tentang bagaimana tradisi dan modernisasi bisa berjalan berdampingan, asal ada niat dan rasa hormat. Sebagai penulis sekaligus pribadi yang mencintai keberagaman budaya Indonesia, saya merasa Suku Tengger adalah bukti nyata bahwa identitas bangsa tak hanya terletak pada gedung-gedung tinggi atau teknologi mutakhir, tetapi pada adat dan nilai yang tetap dipegang teguh. Semoga kita semua bisa belajar menjaga akar kita sendiri, seperti halnya Suku Tengger menjaga Bromo dan adatnya, seiring waktu yang terus bergulir.
No comments:
Post a Comment