Monday, April 28, 2025

QRIS Mengusik Amerika: Inovasi Pembayaran Indonesia yang Mencuri Perhatian Dunia

 



    Di era digital saat ini, kecepatan dan kemudahan transaksi menjadi kunci utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Indonesia, melalui Bank Indonesia (BI), meluncurkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) pada 17 Agustus 2019. QRIS adalah standar nasional pembayaran berbasis kode QR yang menyatukan berbagai metode pembayaran digital ke dalam satu sistem terpadu. Sebelum QRIS diperkenalkan, konsumen dan merchant di Indonesia dihadapkan pada banyaknya variasi QR code dari berbagai penyedia layanan seperti OVO, DANA, GoPay, LinkAja, hingga ShopeePay. Setiap aplikasi memiliki kode tersendiri, menyulitkan para pengguna dan pelaku usaha kecil. Melalui QRIS, cukup satu QR code yang bisa menerima semua pembayaran dari berbagai aplikasi e-wallet dan mobile banking.


    Inovasi ini bukan hanya mempercepat transaksi, tetapi juga mendorong inklusi keuangan di Indonesia. Bahkan, QRIS juga digunakan untuk pembayaran lintas negara di kawasan ASEAN, termasuk Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Dengan kata lain, QRIS bukan lagi hanya milik Indonesia, tetapi telah menjadi alat transaksi antarnegara. Namun, kesuksesan QRIS ini mulai "mengusik" perhatian dunia, termasuk Amerika Serikat. Mengapa demikian?


    Amerika Serikat selama ini dikenal sebagai pemimpin global dalam teknologi keuangan (fintech), kartu kredit, dan sistem pembayaran seperti Visa, Mastercard, hingga PayPal. Model bisnis pembayaran di AS masih sangat bergantung pada infrastruktur kartu (debit dan kredit), yang memungut biaya merchant fee cukup tinggi (sekitar 2-3% per transaksi). Sementara itu, QRIS menawarkan sesuatu yang berbeda:

  • Transaksi real-time tanpa keterlibatan kartu fisik.
  • Biaya transaksi sangat rendah (merchant discount rate hanya 0,7% untuk UMKM di Indonesia).
  • Interoperabilitas luas antar platform.
  • Tanpa ketergantungan pada bank besar.


    Inovasi ini membuka mata banyak negara berkembang: bahwa mereka bisa membangun ekosistem pembayaran sendiri, tanpa bergantung pada jaringan kartu Amerika. Jika model seperti QRIS diadopsi secara luas, ketergantungan pada perusahaan-perusahaan raksasa Amerika akan menurun drastis. Tak heran jika di balik layar, mulai terdengar kekhawatiran industri keuangan Amerika atas potensi "disrupsi" ini.


    QR code payment sebenarnya bukan barang baru. Tiongkok sudah terlebih dahulu menggunakan sistem serupa melalui Alipay dan WeChat Pay. Namun, pendekatan Indonesia melalui QRIS lebih sistematis,  dibuat standar nasional di bawah regulasi resmi, diterapkan secara merata dari kota besar hingga pelosok desa, dan disiapkan untuk transaksi lintas negara. Bahkan pada 2024, Indonesia bersama Malaysia dan Thailand telah mengintegrasikan pembayaran QR lintas negara dengan QRIS. Seorang wisatawan Indonesia dapat membayar makan di Bangkok cukup dengan memindai QRIS dari dompet digital lokalnya, tanpa perlu menukar uang atau membuka rekening bank asing. Ini adalah langkah besar menuju kemandirian ekonomi digital regional.


    Jika pendekatan seperti QRIS ini sukses diperluas ke lebih banyak negara, dominasi dolar AS dalam transaksi kecil (mikrotransaksi) akan semakin tergerus. Dunia tak lagi harus selalu bergantung pada sistem pembayaran berbasis AS. Ada beberapa alasan mengapa QRIS dianggap "mengusik" model lama yang dikuasai Amerika:

  1. Di Amerika, merchant harus membayar biaya cukup tinggi kepada penyedia kartu seperti Visa dan Mastercard. QRIS memotong jalur ini, membuat biaya lebih murah untuk pedagang kecil.
  2. QRIS berbasis pembayaran langsung dari saldo e-wallet atau mobile banking. Tidak ada konsep "utang" seperti pada kartu kredit yang menjadi salah satu sumber pendapatan besar bank Amerika.
  3. QRIS dirancang untuk memudahkan usaha kecil dan menengah (UMKM), yang dalam banyak sistem konvensional seringkali diabaikan karena biaya masuk yang mahal.
  4. Dengan transaksi berbasis kode QR lokal, data pembayaran tidak otomatis mengalir ke perusahaan luar negeri. Ini menjaga kedaulatan data nasional.


    Meskipun Amerika Serikat belum secara terbuka mengkritik QRIS, tanda-tanda kekhawatiran mulai terlihat diaman investasi besar-besaran di sektor fintech lokal untuk mempercepat inovasi pembayaran berbasis QR, Upaya memperluas adopsi teknologi NFC dan contactless payment yang lebih mengandalkan hardware eksklusif buatan AS, dan Dorongan diplomatik agar negara-negara berkembang tetap memakai jaringan kartu global. Amerika memahami bahwa kehilangan dominasi dalam infrastruktur pembayaran sama artinya dengan kehilangan kontrol atas jalur keuangan dunia. Bagi negara seperti Indonesia, keberhasilan QRIS adalah simbol kemandirian ekonomi digital atau sesuatu yang dianggap berpotensi mengubah lanskap geopolitik keuangan.


    Dukungan pemerintah dan komunitas bisnis, QRIS berpeluang menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia di masa depan. Namun Meski diakui sebagai inovasi cerdas, QRIS memiliki banyak tantangan seperti :

  1. Perluasan ke lebih banyak negara, Kolaborasi lintas negara harus diperkuat agar QRIS benar-benar menjadi standar regional atau bahkan global.
  2. Edukasi pengguna, Banyak masyarakat di daerah masih awam tentang penggunaan QRIS secara aman.
  3. Persaingan dengan teknologi lain, Seperti blockchain payment atau Central Bank Digital Currency (CBDC) yang juga sedang dikembangkan banyak negara. 


    QRIS adalah bukti bahwa inovasi tidak harus datang dari negara besar. Indonesia, lewat langkah sederhana namun strategis, menunjukkan kepada dunia bahwa ekosistem pembayaran yang efisien, murah, dan inklusif bisa dibangun sendiri. Bagi Amerika Serikat, model seperti QRIS adalah ancaman terhadap dominasi lama mereka. Dunia kini mulai melihat opsi baru yang lebih beragam, dan bukan tidak mungkin dalam beberapa dekade ke depan, standar-standar pembayaran global akan bergeser ke arah yang lebih lokal dan berdaulat. QRIS bukan hanya tentang kemudahan bertransaksi. Ini adalah tentang keberanian untuk membangun masa depan sendiri.


No comments:

Post a Comment