Thursday, March 16, 2023

Protes Larangan Rokok Ketengan: Suara Kecil dari Warung Kecil yang Tak Boleh Diabaikan



    Belakangan ini, larangan penjualan rokok ketengan di Indonesia menjadi topik hangat yang ramai diperbincangkan, baik di media sosial, warung kopi, maupun di gang-gang kecil tempat banyak orang menggantungkan hidup. Sebagai seorang blogger yang sering terjun langsung ke lapangan dan berbincang dengan masyarakat, saya merasa penting untuk membahas ini dari sudut pandang personal, bukan sekadar teori kebijakan. Larangan ini, meskipun bertujuan mulia untuk mengurangi konsumsi rokok terutama di kalangan anak-anak dan remaja, ternyata memunculkan gelombang protes dari berbagai pihak, khususnya para pedagang kecil. Mari kita gali lebih dalam bagaimana sebenarnya suara-suara kecil ini berbicara tentang realita yang mungkin luput dari perhatian banyak orang.


    Larangan rokok ketengan merujuk pada peraturan pemerintah yang melarang penjualan rokok secara eceran atau satuan. Artinya, konsumen hanya boleh membeli rokok dalam kemasan penuh, seperti satu bungkus isi 12 batang atau 20 batang, tidak bisa lagi membeli satuan di warung atau toko kecil. Kebijakan ini sejalan dengan upaya nasional mengurangi prevalensi perokok usia muda dan mendorong kesadaran akan bahaya rokok. Namun di sisi lain, larangan ini memicu reaksi keras, terutama dari masyarakat lapisan bawah yang selama ini bergantung pada penjualan rokok ketengan.


    Sebagai seorang yang tumbuh besar di lingkungan kampung dan sering belanja ke warung tetangga, saya cukup memahami alasan kenapa larangan ini memicu protes. Berikut beberapa alasan utamanya :


1. Sumber Penghidupan Pedagang Kecil

Bagi banyak pemilik warung, penjualan rokok ketengan bukan sekadar tambahan, tapi salah satu sumber pendapatan utama. Di kampung saya, misalnya, hampir setiap warung kecil menyediakan rokok ketengan untuk menarik pelanggan. Kalau larangan ini diberlakukan ketat, banyak warung yang akan kehilangan pembeli. Karena biasanya, orang beli gorengan atau minuman sekalian beli rokok satuan. Kalau rokok ketengan hilang, lalu lintas pembeli juga bisa berkurang drastis.


2. Daya Beli Masyarakat Rendah

Realita ekonomi di lapangan sangat berbeda dengan asumsi para pembuat kebijakan di gedung-gedung tinggi. Banyak pekerja harian, buruh, atau tukang ojek yang memang tidak mampu membeli rokok satu bungkus penuh. Biasanya, mereka hanya membeli satu atau dua batang setelah kerja seharian. Dengan daya beli yang terbatas, larangan rokok ketengan membuat mereka "dipaksa" mengeluarkan uang lebih banyak, yang tidak semua orang mampu.


3. Budaya Sosial yang Sudah Mengakar

Di banyak daerah, membeli rokok ketengan sudah menjadi budaya sehari-hari. Ada ikatan sosial di balik transaksi kecil ini. Misalnya, seorang bapak mampir ke warung, ngobrol sebentar, beli rokok satu batang, lalu melanjutkan harinya. Menghilangkan kebiasaan ini seolah-olah mencabut salah satu bagian kecil dari kehidupan sosial masyarakat kelas bawah.


    Sebagai blogger yang berusaha melihat dari dua sisi, saya memahami niat baik pemerintah. Indonesia memang masih menghadapi tantangan besar terkait tingginya angka perokok remaja. Rokok ketengan dinilai sebagai pintu masuk anak-anak untuk mulai mencoba rokok karena harga yang murah dan akses yang mudah. Dengan melarang rokok ketengan, pemerintah berharap konsumsi rokok bisa ditekan, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Ini adalah tujuan mulia yang patut didukung. Namun, seperti kata pepatah, "The devil is in the details." Implementasi kebijakan ini harus sangat hati-hati, agar tidak justru menciptakan masalah sosial dan ekonomi baru. Jika larangan ini diterapkan tanpa solusi alternatif, ada beberapa dampak yang sangat mungkin terjadi:

  • Pendapatan warung kecil menurun: Ini bisa berujung pada bertambahnya angka kemiskinan di lapisan masyarakat bawah.
  • Meningkatkan rokok ilegal: Ketika orang tidak mampu membeli rokok resmi dalam bungkus penuh, pasar gelap bisa saja berkembang, menawarkan rokok murah tanpa kontrol kualitas.
  • Memicu perlawanan sosial: Masyarakat bisa merasa diabaikan dan semakin tidak percaya pada pemerintah, apalagi jika kebijakan ini dianggap hanya menguntungkan perusahaan besar.


Melihat kompleksitas masalah ini, saya pribadi berpendapat bahwa larangan total bukan satu-satunya jalan. Ada beberapa solusi alternatif yang mungkin lebih efektif:

  1. Edukasi dan kampanye intensif : Fokuskan upaya pada edukasi bahaya rokok sejak dini, bukan hanya pada larangan fisik.

  2. Pembatasan penjualan pada usia tertentu : Perketat penjualan rokok, termasuk ketengan, hanya untuk orang dewasa dengan sistem pengawasan yang lebih baik.

  3. Pemberdayaan warung kecil : Berikan alternatif sumber pendapatan baru bagi pemilik warung agar tidak terlalu bergantung pada penjualan rokok.


    Dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan inklusif, tujuan mengurangi konsumsi rokok tetap bisa tercapai tanpa mengorbankan kelompok masyarakat yang paling rentan. Dalam perjalanan saya mengamati dinamika sosial di banyak daerah, saya semakin percaya bahwa suara warung kecil adalah cermin suara mayoritas rakyat Indonesia. Warung bukan hanya tempat jual beli, tapi juga tempat bersosialisasi, berbagi cerita, dan bertukar kabar. Melarang penjualan rokok ketengan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap warung kecil, sama saja dengan menutup sebagian dari denyut nadi kehidupan masyarakat kita.


    Saya berharap pemerintah, sambil terus berusaha melindungi generasi muda dari bahaya rokok, juga mau mendengar suara-suara kecil ini. Karena dalam membangun bangsa, tidak boleh ada suara yang diabaikan, sekecil apa pun itu. Protes terhadap larangan rokok ketengan bukan semata-mata soal mempertahankan kebiasaan merokok. Ini adalah soal keadilan ekonomi, kearifan lokal, dan hak untuk mencari nafkah.


    Kita semua setuju bahwa kesehatan adalah prioritas. Tapi dalam perjalanannya, kita juga perlu memastikan bahwa setiap kebijakan dibuat dengan memperhatikan kenyataan di lapangan. Mari terus berdiskusi, mencari jalan tengah, dan memastikan bahwa tidak ada rakyat kecil yang terpinggirkan atas nama perubahan.

1 comment:

  1. Memang harus lebih ketat peraturan tentg rokok ini

    ReplyDelete